Diduga Langgar UU Ketenagakerjaan, Kuasa Hukum Soroti PHK Sepihak terhadap Syamsuriani

banner 468x60

TIMIKA, Penapapua.com

Kuasa hukum Syamsuriani, Teguh Sukma, S.H., membeberkan sejumlah kejanggalan dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami kliennya oleh PT Pembangunan Jaya Papua (PT PJP). Ia menilai PHK tersebut tidak hanya sepihak, tetapi juga sarat pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

banner 336x280

“Kami resmi menerima kuasa dari Ibu Suryani sejak 17 Juli 2025 berdasarkan surat kuasa nomor 12/SKK/PAI/2025/STS-P. Kasus ini merupakan persoalan hubungan industrial yang berkaitan erat dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga UU Cipta Kerja,” ujar Teguh dalam jumpa pers di salah satu kafe di Timika, Kamis (7/8/2025).

Menurutnya, Syamsuriani telah bekerja selama 14 tahun di perusahaan tersebut. Namun, pada 4 Juli 2025, ia dipanggil dan dipaksa menandatangani surat PHK yang ternyata bertanggal mundur, yakni 30 Juni 2025. Alasan PHK disebutkan karena efisiensi, namun hal itu diragukan kuasa hukum.

“Kalau memang alasannya efisiensi, seharusnya perusahaan bisa menunjukkan dokumen audit atau laporan keuangan yang mendukung. Apakah sebelumnya sudah ada pengurangan beban kerja, pengurangan material, atau langkah-langkah efisiensi lain? Ini yang tidak pernah dijelaskan kepada klien kami,” jelas Teguh.

Teguh mengungkapkan bahwa sebelum PHK, kliennya mengalami berbagai perlakuan yang tidak adil. Pada Juni 2024, Syamsuriani sempat dipanggil oleh HRD terkait laporan komplain dari pihak user. Namun, isi email atau bukti komplain tidak pernah diperlihatkan, dan Suryani malah dipaksa menandatangani surat peringatan (SP) pertama.

“Karena ingin tetap bekerja dan menunjukkan dedikasinya, klien kami menandatangani SP itu. Tapi setelahnya justru dipindahkan dari bagian administrasi ke bagian produksi. Ini jelas penurunan jabatan,” lanjutnya.

Masalah berlanjut pada Oktober 2024. kliennya kembali dituduh tanpa bukti, kali ini terkait dugaan perselingkuhan dengan rekan kerja. Bahkan istri dari rekan kerja tersebut tiba-tiba masuk ke area kerja dan menyerang Syamsuriani secara fisik.

“Klien kami hanya membela diri karena diserang. Tapi dia malah dikenai skorsing selama tiga minggu. Setelah kembali bekerja, ia langsung dijatuhi SP ke-3 tanpa prosedur atau SP ke-2 sebelumnya,” ungkap Teguh.

Ia menyayangkan prosedur pemberian sanksi yang dinilai tidak berurutan dan tanpa dasar kuat. “Sanksi tidak bisa dijatuhkan sembarangan. Harus ada tahapan dan pembuktian pelanggaran,” tegasnya.

Lebih lanjut, Teguh juga menyoroti tidak adanya perundingan bipartit secara sah antara perusahaan dan pekerja. Dalam rapat yang digelar manajemen PT PJP, Syamsuriani tidak diikutsertakan. Rapat tersebut hanya melibatkan Serikat Pekerja.

“Kami sudah cek ke Disnaker, dan memang benar, itu bukan bipartit karena tidak melibatkan pekerja secara langsung. Daftar hadirnya hanya berisi nama-nama dari serikat, bukan klien kami,” kata Teguh.

Atas temuan tersebut, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika telah mengeluarkan anjuran agar dilakukan perundingan bipartit ulang. Namun hingga kini, pihak perusahaan belum menindaklanjuti anjuran tersebut.

Teguh juga mengkritik surat balasan dari pihak manajemen yang hanya mengundang klien kami tanpa didampingi kuasa hukum. Ia mempertanyakan dasar hukum pembatasan tersebut.

“Advokat adalah profesi yang dilindungi undang-undang. Kami mendampingi klien secara sah berdasarkan surat kuasa. Kalau ada yang membatasi, tunjukkan dasar hukumnya. Kami tidak pernah mencabut kuasa, dan klien kami juga tidak pernah memberikan kuasa kepada Serikat Pekerja,” tegasnya.

Ia menambahkan, dirinya akan tetap hadir mendampingi Syamsuriani dalam pertemuan mediasi berikutnya yang dijadwalkan berlangsung Jumat (8/8/2025) pukul 15.00 WIT di Kantor PT PJP, Jalan Baru, Timika.

Teguh menegaskan bahwa yang dialami Syamsuriani adalah bentuk diskriminasi dan eksploitasi pekerja. Tindakan tersebut dinilainya bertentangan dengan semangat perlindungan tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

“Klien kami telah mengalami kerugian besar, baik secara materiil maupun imateriil, mulai dari kehilangan hak sebagai pekerja, tekanan psikologis, hingga pencemaran nama baik,” ujarnya.

Ia berharap perusahaan bersedia hadir langsung dalam mediasi dan menyelesaikan persoalan ini secara adil, transparan, dan bermartabat. (Redaksi)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *