Pendidikan Budi Pekerti Ki Hadjar: Warisan yang Masih Relevan di Tengah Tantangan Papua

banner 468x60

TIMIKA, Penapapua.com

Oleh: Deteanus S/Abugau Mahasiswa S2 UST Yogyakarta

banner 336x280

Gagasan pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, tidak lahir dari ruang hampa. Ia berakar mendalam dari penderitaan rakyat Indonesia di bawah cengkeraman penjajahan Belanda dan Jepang.

Eksploitasi ekonomi lewat kerja paksa (rodi) dan tanam paksa (cultuurestelsel), ditambah penindasan politik melalui strategi “devide et impera” (adu domba) dan sistem kasta rasial, telah melahirkan kemiskinan, kelaparan, kehilangan hak dasar, serta kerusakan sosial-budaya yang parah.

Melihat kondisi bangsa yang terjajah dan terbelakang inilah, Ki Hadjar yakin pendidikan menjadi kunci pembebasan dan pembentukan manusia Indonesia merdeka, beradab, dan berkarakter luhur.

Bagi Ki Hadjar, tujuan pendidikan bukan sekadar transfer ilmu.

“Tujuan utama pendidikan adalah menuntun anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat,” tegasnya.

Pencapaian ini ditempuh melalui pendidikan budi pekerti yang holistik, mengembangkan potensi anak secara menyeluruh: cipta (kognitif/pikiran), karsa (afektif/hati nurani), dan karya (psikomotorik/tindakan).

“Pendidikan budi pekerti adalah usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur, membentuk karakter, dan mengembangkan watak anak didik agar memiliki kesadaran dan perilaku yang baik,” jelas Ki Hadjar. Ini mencakup tingkah laku, perangai, akhlak, dan karakter yang sesuai norma agama, hukum, tata krama, dan adat istiadat. Pendidikan budi pekerti, baginya, adalah inti dari seluruh proses pendidikan,”ungkapnya

Untuk mewujudkannya, Ki Hadjar memperkenalkan Sistem Among dengan metode “Tiga Mong”: momong (mengasuh), among (membimbing), dan ngemong (menjaga dengan kasih sayang). Pendidik berperan sebagai penuntun, pembimbing, dan teladan hidup.

Konsep ini diperkuat oleh trilogi kepemimpinannya yang legendaris:

  1. Ing Ngarso Sung Tulodo: Di depan memberi teladan.
  2. Ing Madya Mangun Karso: Di tengah membangun semangat dan prakarsa.
  3. Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dorongan dan motivasi.

Pendidikan, menurutnya, harus “memerdekakan” manusia secara fisik, mental, jasmani, dan rohani, serta berpusat pada murid, disesuaikan dengan kodrat alam dan zaman.

Ajaran Ki Hadjar Dewantara ini dinilai masih sangat relevan, khususnya dalam konteks pembangunan pendidikan di Tanah Papua.

“Dengan memahami dan menerapkan ajaran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, diharapkan pendidikan di Indonesia, khususnya di Papua, dapat menghasilkan generasi yang merdeka, cerdas, berkarakter, dan berdaya saing,” tulis Dete

Implementasinya mensyaratkan perubahan paradigma:

  • Peran Guru: Beralih dari sekadar pengajar menjadi fasilitator, motivator, dan teladan utama (Ing Ngarso Sung Tulodo).
  • Kurikulum: Harus dirancang sesuai kebutuhan dan potensi lokal Papua, relevan dengan zaman, dan mengintegrasikan nilai-nilai budi pekerti secara konkret.
  • Metode Pembelajaran: Variatif, menyenangkan, dan melibatkan siswa aktif (Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani), serta memperhatikan lingkungan belajar (keluarga, sekolah, masyarakat) sebagai wahana penanaman karakter.

Di tengah berbagai tantangan pembangunan dan pendidikan di Papua, warisan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan budi pekerti yang memerdekakan dan membangun karakter manusia utuh menawarkan pijaran harapan dan panduan yang tetap aktual. Gagasan bahwa pendidikan adalah proses membangun budi (pikiran dan karakter) dan pekerti (tindakan nyata) untuk kebahagiaan lahir batin individu dan masyarakat, kembali menegaskan relevansinya sebagai fondasi membangun masa depan daerah dan bangsa. (Redaksi)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *