TIMIKA, Penapapua.com
Sebuah terobosan besar dalam dunia kesehatan yang dikembangkan oleh tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM). Dipimpin oleh Dosen dan Peneliti Departemen Ilmu Penyakit Dalam Pusat Kedokteran Tropis UGM, Antonia Morita Iswari Saktiawati, dan Dr. Wahyono, Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika UGM.
riset ini mengusung teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk membaca foto rontgen dada guna mempercepat skrining tuberkulosis (TBC) yang merupakan penyakit mematikan yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia, khususnya di wilayah terpencil.
“Di banyak daerah, terutama pedalaman, tenaga medis sangat terbatas. Dokter saja sudah langka, apalagi dokter radiologi. Jadi ketika ada rontgen, proses pembacaannya bisa lama sekali. Ini memperlambat diagnosis dan pengobatan TBC,” kata Antonia kepada media usai sosialisasi di Grand Tembaga Hotel, Kamis (7/8/2025).
Melalui inovasi ini, AI akan mempermudah proses deteksi dini TBC hanya dari hasil rontgen dada, tanpa harus menunggu dokter spesialis yang sering kali berada jauh dari lokasi pasien atau tidak memiliki waktu untuk melakukan pemeriksaan lantaran padatnya kerjaan, sehingga teknologi ini diharapkan dapat mempercepat diagnosis, pengobatan, sekaligus menekan penyebaran penyakit TBC.
Kabupaten Mimika dipilih sebagai salah satu wilayah uji coba, bersamaan dengan Klaten dan Yogyakarta. Hal ini didasari oleh performa Mimika yang dinilai paling baik dalam penanganan TBC di wilayah Papua Tengah.
“Namun masih ada kesenjangan antara jumlah kasus sebenarnya dan kasus yang berhasil ditemukan. Melalui riset ini, kami ingin bantu pemerintah mempersempit gap tersebut,” jelas Antonia.
Untuk memastikan transparansi dan keterlibatan publik, tim peneliti juga membangun website yang memuat informasi terbaru tentang progres penelitian serta membuka ruang komunikasi bagi masyarakat.
Penelitian ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menggandeng berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari Dinas Kesehatan, pemerintah daerah, hingga organisasi yang menangani isu disabilitas, gender, dan penyakit menular seperti malaria.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Wahyono, Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika UGM, menjelaskan bahwa saat ini akurasi AI yang dikembangkan baru mencapai 64% dan terus akan ditingkatkan menuju target 80%.
“Kami masih mengumpulkan data tambahan dari berbagai daerah. Ini penting agar model AI bisa membaca kondisi lebih beragam, termasuk mempertimbangkan riwayat penyakit, gejala klinis, hingga apakah pasien pernah mengidap TBC sebelumnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyono menyampaikan bahwa AI ini bersifat skrining awal dan bukan diagnosis final. Hasil dari AI tetap harus divalidasi melalui pemeriksaan lanjutan oleh tenaga medis. (Redaksi)