TIMIKA, Penapapua.com
Setelah menerima aspirasi dari Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Mimika (SOMAMA-TI), DPRK periode 2025-2029 akan segera bertemu dengan Pemerintah Kabupaten Mimika terkait pelaksanaan Perda Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Orang Asli Papua (OAP).
Hal ini ditegaskan, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), Iwan Anwar didampingi Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau serta sejumlah anggota DPRK Mimika lainnya usai melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan puluhan Mama-mama OAP dan Mahasiswa di Kantor DPRK Mimika, pada Rabu (28/5/2025).
Iwan Anwar mengatakan, soal tuntutan mama-mama OAP dan mahasiswa terkait perlindungan perdagangan pangan lokal harus dikhususkan untuk OAP telah ditetapkan pada tahun 2024 lalu oleh pihaknya dan Pemkab Mimika.
“Perda UMKM itu mengatur, pertama menginventarisir semua produk lokal Kabupaten Mimika. Kedua Perda itu memberikan peluang perlindungan lebih banyak kepada Mama-mama Papua yang menjual produk lokal itu,” tegasnya.
Ketiga, Perda itu meminta kepada pemerintah agar memberikan pembinaan peningkatan SDM didalam mengelola usahanya. Keempat, perda itu meminta agar pemerintah membantu permodalan didalam melaksanakan UMKM itu.
Katanya, Perda Nomor 4 tahun 2024 itu ditetapkan pada 25 November 2024 lalu oleh pihaknya dan Pemkab Mimika.
“Perda ini juga aspirasi dari mama-mama sekalian, yang dulu pernah demo di sini,” katanya.
Ia pun menekankan, dengan adanya demo damai ini DPRK Mimika akan segera berkoordinasi dengan bagian hukum dan dinas terkait.
“Dalam satu dua hari kita (DPRK) akan bertemu dengan Bagian Hukum dan dinas terkait, untuk membahas teknis pelaksanaan perda tersebut,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau menambahkan, tahun ini akan menyelesaikan masalah ini.
“Kami akan secepatnya menyelesaikan ini. Memang mereka minta Perda dan perda ini sudah terbentuk sejak 25 November 2024 lalu. Mereka semua belum tahu Perda ini. Dan ini tinggal dinormalisasi dengan Bupati Mimika serta dinas terkait supaya perda ini bisa berjalan,” tambahnya.
Ditambahkan Ketua DPRK Mimika bahwa mereka menyampaikan tentang komoditi lokal yang sering dijual masyarakat nasional (pendatang) untuk membatasi itu.
“Untuk itu, saya minta kepada masyarakat pendatang untuk tidak menjual hal ganda seperti punya kios juga menjual pinang ataupun sagu. Paling tidak memberikan ruang kepada masyarakat OAP. Dan saya minta perusahaan juga memberdayakan masyarakat OAP dengan membeli beberapa komoditi lokal sehingga mengangkat perekonomian di sini. Dengan harapan hal ini tidak akan terjadi lagi,” terangnya.
Sementara itu, Kabag Ops Polres Mimika, AKP Henri Alfredo Korwa mengatakan, pihaknya menerjunkan sebanyak 100 personel untuk melakukan pengamanan ini.
“Semuanya berjalan lancar dan aman dan mama-mama Papua serta Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Mimika (SOMAMA-TI) juga sudah pulang ke rumah masing-masing,” jelasnya.
Berikut ini aspirasi yang disampaikan Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Mimika (SOMAMA-TI) kepada DPRK Mimika:
Komoditas lokal adalah produk atau barang yang dihasilkan dan dipasarkan di suatu daerah atau wilayah tertentu, biasanya memiliki karakteristik unik dan spesifik yang terkait dengan budaya, tradisi, dan sumber daya alam daerah tersebut. Contoh komoditas lokal di Papua antara lain:
- Tanaman obat tradisional. Papua memiliki kekayaan tanaman obat tradisional yang dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit.
- Buah-buahan lokal Papua memiliki berbagai jenis buah-buahan lokal yang lezat dan bergizi, seperti buah merah, buah naga, dan lain-lain.
- Kopi Papua: Kopi Papua dikenal memiliki kualitas yang baik dan memiliki aroma yang khas.
- Kerajinan tangan Papua memiliki kekayaan kerajinan tangan yang unik dan indah, seperti ukiran kayu, anyaman noken, dan lain-lain.
- Produk makanan lokal Papua memiliki berbagai jenis produk makanan lokal yang lezat dan bergizi, seperti sagu, papeda, dan lain-lain.
Komoditas lokal dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat lokal dan dapat membantu meningkatkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, pengembangan komoditas lokal perlu didukung dan dipromosikan untuk meningkatkan kesadaran dan permintaan pasar.
Untuk melindungi dan melestarikan semua itu, kami yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Timika (SOMAMATI). Dengan ini menyatakan sikap kami:
- Pemerintah Daerah segera merancang dan menetapkan peraturan daerah dalam hal Melindungi komoditi Ekonomi lokal
- Segera membangun pasar tradisional Mama-mama papua,
- Segera memberikan transportasi umum di setiap pasar
- Kami solidaritas mahasiswa dan masyarakat timika (SOMAMA-TI) menolak dengan tegas adanya pengusaha yang menjualbelikan dagangan komoditas lokal di kabupaten mimika;
- Segera membangun koperasi mama-mama pasar papua di Kabupaten Mimika
- Segera memberikan pelatihan-pelatihan khusus bagi mama-mama Papua di kabupaten mimika
- Segera pertemukan solidaritas mahasiswa dan masyarakat timika (SOMAMA-TI) dengan dinas-dinas terkait
- Kami meminta pihak DPRD bentuk Pansus Perda komoditas lokal orang asli papua sesegera mungkin.
Diketahui sebelumnya, mama-mama OAP pedagang pinang didamping mahasiswa yang mengatasnamakan Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Mimika (SOMAMA-TI) datang ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Rabu (28/5/2025) untuk menuntut Peraturan Daerah (Perda) Pangan lokal.
Mama-mama dan mahasiswa pun ditemui oleh ketua DPRK Mimika Primus Natikapereyau bersama sejumlah anggota dewan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Koordinator SOMAMA-TI Yoki Sondegau mengatakan, mereka datang untuk menuntut adanya Peraturan Daerah (perda) soal perlindungan bagi UMKM OAP menjual pangan lokal asli Papua.
“Ini sudah ke berapa kali kami datang, dan kami minta agar perda itu disahkan dan diterapkan,” tegasnya.
Menurutnya, aksi protes terkait dengan pangan lokal ini sudah dilakukan mama-mama sejak tahun 2018 lalu.
Bahkan mama-mama Papua menekankan, jika ada pedagang lain yang menjual komoditi asli Papua seperti umbi, pinang, dan lainnya membuat mereka kesulitan. Dengan alasan tersebut mereka menuntut Peraturan Daerah (Perda) Pangan lokal. (Redaksi)