TIMIKA, Penapapua.com
Kaka Jose Ohai atau yang dikenal sebagai trainer motivasional, hadir sebagai narasumber dalam pelatihan pengembangan Sumber Daya Manusia Papua yang diikuti oleh ratusan Orang Asli Papua (OAP).
Kegiatan yang berlangsung di Gedung Emeneme Yauare, Rabu (07/05/2025) ini dibuka langsung oleh Ananias Faot, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat pada Setda Mimika.
Dalam materinya Jose berbagi pengalamannya yang juga menjadi motivasi bagi para peserta. Mulai dari memaparkan pandangannya terhadap peran penerintah dalam pengembangan SDM OAP.
Ia mengatakan bahwa, selama ini,l lebih banyak diadakan pelatihan skill/keterampilan. Hal itu berbeda dengan apa yang dibutuhkan oleh orang Papua. Banyak pihak yang gagal mengidentifikasi permasalah utama yaitu kurangnya pembangunan manusia atau pendidikan karakter. Dan pendidikan ini yang dirasa masih tertinggal di sekolah, di universitas bahkan di Balai Latihan Kerja (BLK).
“Yang dibutuhkan orang Papua itu bukan pelatihan skill karena OAP itu jagonya otodidak. Pengalaman, keterampilan di kasih tetapi tidak bisa aplikasi. Mereka tinggal saja tidak punya keberanian. Kalaupun bawa diri untuk bersaing pasti kalah,” ujar Kaka Jose saat diwawancarai, Rabu (07/05/2025).
Kaka Jose menegaskan, bukan saatnya lagi bagi OAP tertinggal. Sudah saatnya mata dan kepala OAP terbuka bahwa Sumber Daya Manusia itu lebih penting dari pada Sumber Daya Alam. Soft skill atau pembangunan manusia lebih penting daripada keterampilan atau pembangunan fisik. Pembanguna fisik tanpa pembangunan manusia adalah sia-sia.
“Selama ini semua menipu diri dengan omong kosong. Papua ini kaya, Papua ini itu, akhirnya waktu susah terus menyalahkan semua, menyalahkan pemerintah, perusahaan, menyalahkan orang non Papua sampai ada yang menyalahkan Tuhan kalau menderita terus tidak ada jalan keluar,” tambahnya.
Mengenai kesempatan untuk OAP, Kaka Jose menyebut masih kurangnya pendekatan dari Pemda karena pemahaman afirmasi yang belum tepat. Di mana Pemda menganggap kalau afirmasi itu adalah menurunkan standar. Padahal seharusnya diberikan adalah privilage bagaimana supaya orang Papua bisa ikuti standar yang sedang berlaku tanpa diturunkan.
“Misalnya tes di seluruh Indonesia itu online, sementara di Papua itu offline. Tidak perlu minta standar diturunkan, kalau mau tes online berarti satu tahun 6 bulan ini ajari dia pakai komputer, masak sampe buka barang gampang-gampang begitu saja mereka tidak tahu? Tidak perlu ujian offline, ajar mereka. Itu namanya afirmasi,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia berharap semua pihak harus menyesuaikan penafsiran supaya tidak salah mendiagnosa apa yang diperlukan OAP. Ia menganalogikannya seperti seorang dokter yang salah diagnosa dan pada akhirnya menimbulkan masalah baru.
“Ternyata dalam kehidupan sehari-hari pun pemerintahan dan segala macam juga ada salah diagnosa di sini. Pendekatan dirasa kalau anak-anak OAP berarti harus represif, harus ini, berarti itu salah diagnosa kan? Ini anak-anak sedang curhat, butuh didengarkan saja,” pungkasnya. (Redaksi)