TIMIKA, Penapapua.com
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika menerima kedatangan Perwakilan Dewan Adat Papua Daerah (DAD) Mimika untuk dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan di ruang rapat Komisi III DPRK Mimika, Selasa (28/10/2025).
RDP tersebut dipimpin langsung Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau didampingi anggota DPRK Mimika, Herman Gafur.
Turut hadir Ketua Umum DAD Mimika, Vinsent Oniyoma, Perwakilan dari suku Kamoro, Fredy Sonny Atiamona, Kepala Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Timika Balai Besar KSDA Papua, Bambang H. Lakuy serta perwakilan TNI-Polri.
Ketua Umum DAD Mimika, Vinsent Oniyoma menyampaikan, pihaknya bersama dengan seluruh masyarakat adat Amungme, Kamoro, Sempan dan tujuh suku di wilayah Mimika menyatakan sikap tegas atas tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih yang merupakan tindakan pelecehan budaya serta penghinaan terhadap identitas leluhur.
Menurutnya, tindakan pembakaran bukan hanya pelanggaran terhadap nilai-nilai adat dan spiritualitas, tetapi juga merupakan bentuk nyata dari imperialisme budaya yang dilakukan oleh aparatur negara di Tanah Papua.
“Ini adalah bukti gagalnya Otonomi Khusus (Otsus) dalam menjamin kedaulatan adat dan hak masyarakat Papua. Kami semua terpukul dengan adanya kejadian itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Vinsent menyampaikan beberapa tuntutan DAD diantaranya:
- Permintaan maaf resmi dari Pemerintah Republik Indonesia khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas pembakaran mahkota adat cenderawasih.
- Pencopotan Kepala BBKSDA Papua Johny Santoso sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan yang melukai masyarakat adat.
- Revisi segera terhadap Permen LHK No. P.26/MENLHK/Setjen/ KUM.1/4/2017 dengan menambahkan klausul perlindungan terhadap benda-benda adat dan simbol budaya masyarakat hukum adat.
- Penguatan peran Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representatif orang asli Papua dalam setiap kebijakan yang menyentuh hak-hak adat dan suku.
- Ratifikasi (persetujuan resmi) Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 tentang Masyarakat Adat dan Suku Bangsa sebagi bentuk komitmen negara terhadap hak-hak masyarakat adat secara internasional.
“Kami juga meminta agar DPRK Mimika segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat Adat di Mimika,” jelasnya.
Sebab menurutnya, Perda ini akan menjamin pengakuan atas hak tanah ulayat, perlindungan terhadap simbol budaya, serta partisipasi penuh masyarakat adat dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan publik di tingkat daerah.
Sementara itu, Perwakilan dari suku Kamoro, Fredy Sonny Atiamona berharap agar masalah ini bisa diperhatikan.
“Jangan kita abaikan. Di wilayah Papua lainnya sudah perang ke sana sini. Tapi di Mimika masih aman. Kita tidak ingin Indonesia pecah dan kami tidak ingin adat dan budaya kami diinjak. Selanjutnya salam amolongo juga bisa hilang jika masalah ini tidak diselesaikan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua DPRK Mimika Primus Natikapereyau menegaskan, akan meneruskan semua aspirasi yang telah disampaikan DAD untuk nantinya dibahas dengan anggota dewan lainnya.
“Aspirasi yang sudah diberikan kepada kami, akan kami tindak lanjuti, semoga kejadian pembakaran tidak terjadi lagi di Papua keseluruhan terutama Mimika, sehingga menciderai hati masyarakat,” katanya.
Kepala Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Timika Balai Besar KSDA Papua, Bambang H. Lakuy usai rapat menyampaikan, aspirasi yang telah disampaikan DAD akan menjadi masukan penting bagi pihaknya serta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang berpusat di Provinsi Papua.
“Apa yang sudah disampaikan hari ini akan jadi bahan SKW II Mimika dan BBKSDA Papua untuk kami bagikan kepada pimpinan baik di tingkat provinsi dalam hal ini BBKSDA Papua, maupun ke tingkat pusat,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, pemusnahan/pembakaran barang bukti berupa ofset dan mahkota cenderawasih pada 20 Oktober 2025 di Jayapura
Kementerian Kehutanan (Kemwnhut) melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) telah menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua, para tokoh adat dan lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua (MRP).
Direktur Jenderal KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko menjelaskan, pemusnahan tersebut merupakan bagian dari proses penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar dilindungi dan bagian-bagiannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2024 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Namun demikian, Kemenhut memahami bahwa sebagian barang bukti tersebut memiliki nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Papua.
“Kami menyampaikan permohonan maaf atas timbulnya kekecewaan dan rasa terluka yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Kami memahami bahwa mahkota cenderawasih bukan sekadar benda, melainkan simbol kehormatan dan identitas kultural masyarakat Papua,” ungkapnya. (Redaksi)













